Menumbuhkan Entrepreunership dan Inovasi Teknologi

 Menumbuhkan Entrepreunership dan Inovasi Teknologi

Keunggulan sektor pertanian sebagai tulang punggung pembangunan telah
dibuktikan pada saat krisis ekonomi pada 1997 yang melanda Asia dan yang
paling terpukul adalah Indonesia.
Pada saat itu pertumbuhan sektor pertanian masih memperlihatkan pertumbuhan yang
positif sementara sektor industri manufaktur mengalami pertumbuhan negatif dan
sampai sekarang masih belum pulih bahkan banyak industri yang gulung tikar dan
hengkang ke luar negeri dan akibatnya pengangguran dalam negeri meningkat.
Apabila kita berkunjung ke daerah pada saat krisis mulai terjadi, tidak kelihatan adanya
perubahan krisis ekonomi. Kondisi masyarakat di pedesaan pun di sebagian wilayah
terutama di daerah pertanian biasa-biasa saja; kata mereka, yang krisis itu orang di kota.
Meskipun demikian kondisi kebanyakan petani masih jauh di bawah harapan. Untuk
meningkatkan pendapatan mereka maka perlu diupayakan agar produknya mempunyai
nilai tambah ekonomi. Dan salah satu cara untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi
mereka adalah dengan menggiatkan sektor agribisnis di pedesaan. Oleh karena itu Prof.
Bungaran sejak ia menjadi Menteri Pertanian telah meletakkan Agribisnis sebagai grand
strategy dari Departemen Pertanian (Deptan, 2001). Seharusnya agribisnis inilah
menjadi grand strategi jangka panjang pemerintah khususnya Deptan (tidak hanya
sampai 2004).
Menumbuhkan Entrepreunership dalam Pertanian.
Ada banyak definisi mengenai entrepreunership. Menurut Daft (1997) entrepreunership
adalah suatu proses untuk memulai suatu bisnis, mengorganisir sumber daya yang
diperlukan dengan memperhitungkan resiko dan keuntungan. Orang yang
menjalankannya disebut entrepreuner atau seorang wirausaha. Jadi secara singkat
agribisnis adalah entrepreneurship/wirausaha dalam pertanian. Sri Bramantoro
Abdinagoro, pengasuh rubrik bisnis Harian Republika (Republika 22 Januari 2003)
memberikan beberapa definisi entrepreunership dari berbagai pakar antara lain:
Entrepreunership atau kewirausahaan adalah usaha inovasi, sesuatu yang baru (metode,
produk, bahan baku dan lainnya), memberikan nilai tambah (value added) dan resiko.
Dari definisi ini maka yang membedakan antara orang wirausaha dan bukan adalah
terletak pada keberanian mengambil resiko, ( bertanggung jawab, berusaha mencari
sesuatu yang baru, inovatif dan pantang menyerah. Dari definisi ini pula dapat dikatakan
bahwa wirausaha tidak mesti selalu terkait dengan swasta tetapi bisa ada di lembaga nir
laba dan lembaga pemerintah sekalipun. Bagaimana dimensi usahanya, berapa modal
dan tenaga kerja yang digunakan akan membedakan antara usaha besar, menengah atau
kecil.
Kita harus akui bahwa Bangsa Indonesia selama ini adalah bangsa yang konsumtif.
Penulis pernah bertemu dengan seorang pengusaha Jepang sambil berdiskusi dan
menurutnya salah satu yang membedakan antara orang yang konsumtif dengan yang
inovatif / produktif adalah terletak pada melihat sesuatu benda. Orang yang konsumptif
pada saat pertama kali melihat suatu benda maka selalu yang ditanyakan adalah berapa
harganya, sedangkan orang yang inovatif / produktif maka yang pertama yang ada di
dalam benaknya adalah bagaimana membuat dan menjual barang tersebut.
Memang tidak mudah untuk membangkitkan jiwa-jiwa entrepreneurship seketika karena
sarna dengan merubah budaya yang memerlukan waktu. Tetapi kalau tidak dimulai
mustahil untuk dicapai. Merubah suatu perilaku/budaya bagaimanapun harus melalui
pendidikan. Oleh karena itu agribisnis sudah harus diperkenalkan dalam kurikulum
pendidikan baik formal maupun non formal. Di Indonesia sudah ada misalnya program
Master khusus untuk agribisnis di IPB tetapi institusi yang berkualitas seperti ini terlalu
sedikit untuk penduduk Indonesia yang begitu banyak. Perlu proses pembudayaan agar
bangsa Indonesia cinta akan entrepreneurship khususnya dalam pertanian sehingga nanti
nya semakin lama akan timbul usaha-usaha kecil/menengah.
Penulis ingin mengambil contoh di Jepang. Di sana dengan mudah kita bisa bertemu
dengan seorang presiden. Tapi presiden yang dimaksud di sini adalah Presiden
Perusahaan yang tertera di kartu namanya. Dan jangan heran kalau kita berkunjung ke
perusahaannya kita hanya menemukan 2 atau 3 orang stafnya dengan ruangan 5 x 4
meter bahkan lebih sempit lagi. Mereka punya rasa kebanggaan kalau bisa punya
perusahaan meskipun skala kecil. Dan perusahaan kecil inilah yang tumbuh banyak di
Jepang mendukung ekonomi negara.
Menurut Daft 1997 usaha kecil/menengah (small-medium entreprice) pada awalnya
rnemang diragukan kemampuannya sebagai penggerak ekonomi; akan tetapi pada
dewasa ini telah terbukti bahwa usaha kecil/menengah telah menjadi bagian dari bisnis
dunia dan menurut perkiraan usaha kecil/menengah menciptakan lapangan kerja dua
dari tiga lowongan kerja di Amerika. Telah diakui bahwa ekonomi Jepang sangat kokoh
berkat dukungan usaha kecil/menengah, demikial juga Korea Selatan, dan menyusul
Malaysia. Indonesia sebagai negara agraris dengan keragaman produk pertanian yang
begitu luas memberikan salah satu lingkungan yang kondusif untuk tumbuhnya,
agribisnis kecil/menengah.
Inovasi Teknologi Sebagai Penyangga Agribisnis.
Tanpa teknologi, industri tidak akan berkembang. Prof. B.J. Habibie selalu mengambil
contoh bagaimana menaikkan nilai harga sekeping baja dengan mengubahnya menjadi
mobil atau pesawat. Untuk merubah kepingan baja tadi menjadi mobil perlu ada
teknologi. Apakah kepingan baja tadi dirubah menjadi mobil kijang atau mobil
mercedes diperlukan inovasi teknologi. Begitu juga dalam industri pertanian tidak
mungkin berjalan tanpa adanya teknologi yang mendukungnya. Prof. Bungaran tidak
bosan-bosan selalu memberikan penekanan pentingnya inovasi teknologi. Kegiatan
agribisnis dari hulu sampai hilir syarat akan teknologi. Mulai dari pra panen (penyiapan
benih, pengolahan tanah, panen) sampai pada pasca panen (pengolahan produk) sampai
pada penjualan produk akhir, menuntut adanya inovasi teknologi.
Kalau kita sempat berkunjung ke Jepang kemudian sempat membeli produk olahan
bahan makanan dari produk pertanian maka dengan mudah dapat kita buktikan
bagaimana suatu produk pertanian dapat dirubah menjadi produk olahan yang harganya
sangat tinggi melalui proses inovasi teknologi pertanian. Umpamanya bahan
(ingredient) utamanya hanya ubi jalar tetapi karena diolah dengan teknologi pasca
panen (diproses ke dalam bentuk kue) kemudian dibungkus dengan teknologi
pengepakan yang baik menghasilkan produk yang harganya lebih mahal. Ini hanya salah
satu contoh untuk ubi jalar. Di I Indonesia sudah bisa ditemukan untuk beberapa
produk seperti kripik salak, nangka, dsb., dan tentunya masih banyak lagi yang bisa
dilakukan sebagai negara yang memiliki keanekaragaman komoditas yang tinggi
dengan sentuhan inovasi.
Teknologi pertanian tidak akan memberikan makna manakala tidak mampu untuk
memberikan nilai tambah suatu produk, dan agar teknologi memberikan makna
diperlukan inovasi agar teknologi tersebut bisa masuk ke dalam jalur agribisnis. Apakah
kacang hijau hanya berakhir pada produk bubur kacang hijau yang sering kita santap di
warung pinggir jalan atau dirubah menjadi produk yang nilainya lebih tinggi, tergantung
dari inovasi teknologi. Nickel (1988) mengemukakan pendapat Peters dan Waterman
(pengarang buku In Search of Excellent) bahwa orang yang kreatif di bisnis Amerika
tidak kurang tetapi yang kurang adalah inovator. Kreatifitas adalah memikirkan sesuatu
hal yang baru sedangkan inovasi adalah membuat sesuatu yang baru. Usaha-usaha untuk
membentuk tenaga peneliti yang inovatif merupakan suatu hal yang sangat penting dan
ini bisa dilakukan mulai dari proses rekrutmen peneliti yang berbakat.


Pentingnya mengembangkan SDM dalam penguasaan teknologi utamanya untuk
mendukung pengembangan agribisnis, dan untuk menumbuhkan entrepreunership telah
menjadi amanat dart Program Pembangunan Pertanian 2001-2004 (Deptan, 2001).
Namun karena program untuk penguasaan teknologi dan peningkatan kemampuan
kewirausahaan memerlukan waktu yang panjang maka seyogyanya program ini
merupakan program jangka panjang yang perlu mendapat prioritas. Diakui bahwa
selama ini teknologi pra-panen lebih berkembang dari teknologi pasca panen pada hal
untuk meningkatkan nilai produk jual sangat ditentukan oleh teknologi pasca panen.
Oleh karena itu menurut hemat penulis, untuk ke depan teknologi pasca panen perlu
lebih mendapat prioritas dan dukungan.


Oleh : Dr. Mappaona

Komentar